Minggu, 21 September 2014

Tentang Pernikahan Impian

Kali ini gue mau ngomongin soal pernikahan atau perkawinan,

sumber Google Images
Jadi sekarang ini gue lagi baca bukunya Ayu Utami yaitu "Pengakuan Eks Parasit Lajang". Sebelumnya udah selesai baca edisi sebelumnya dari trilogi parasit lajang juga, "Si Parasit Lajang" dan "Cerita Cinta Enrico". Seru banget baca buku ini dan gue menemukan beberapa pertanyaan yang dulu pernah gue pertanyaakan tentang seksualitas dan agama yang dipertanyakan juga sama Ayu Utami di buku ini (Yes! Pertanyaan gue sekelas pertanyaan Ayu Utami. Eh? Wkwkwkwk.).

Anyway, di terbitan hari ini (Kata bahasa Indonesia yang benar untuk postingan itu apa sih? Sampe sekarang masih belum tahu, dan belum pernah nyari tahu juga sih. :p) gue mau ngomongin soal apa yang gue harapkan(?) atau pikirkan belakangan ini tentang pernikahan. Yah, apalagi sekarang umur udah mau 23, meskipun bukan waktunya untuk mikirin pernikahan, belakangan ini gue lumayan kepikiran tentang hal satu ini, apalagi karena baca trilogi di atas. Menambah alasan untuk mikirin pernikahan. Hihihi.

Dari masih kecil gue udah membayangkan tentang pernikahan impian. Sebuah pernikahan yang meriah, ramai tetamu, mewah (kalau sanggup), romantis, dan lelaki tinggi-gagah-nan-tampan sebagai pangeran gue (nggak harus berkuda).  Gue rasa sih semua itu gara-gara gue suka baca buku cerita putri dan pangeran, yang mengakhiri semua ceritanya dengan pernikahan yang meriah dan dihadiri rakyat kerajaan. Udah gitu suka nonton sinetron pula (lebih ke sering sih, akibat Ibu suka nonton sinetron) yang aktor utamanya menjalani pernikahan yang bahagia.

Selama belasan tahun gue memimpikan pernikahan a la kerajaan dongeng kayak gitu. Saking berlebihannya impian gue, gue pernah mengharapkan pernikahan di luar negeri yang semua undangannya gue yang tanggung akomodasinya (sejujurnya malu mengakui ini, tapi sampe sekarang pun menurut gue ini impian paling nggak masuk akal pertama yang pernah gue impikan. Ini mungkin kalo gue kawinnya sama anggota kerajaan Eropa misalnya, tapi ya mana mungkin kan -_-).

Lalu beberapa tahun lalu gue bermimpi menikah dengan ritual Batak Toba yang asli, kayak di kampung-kampung. Tapi nggak dilaksanain di kampung. Soalnya pernikahan adat Batak Toba yang ada di kota sama di kampung udah beda perayaannya. Di kota perayaannya lebih cepet dan nggak ribet, di kampung masih ribet banget. Jangankan kota dan kampung, di Bandung sama Jakarta aja tata caranya ada yang beda. Padahal sama-sama kota.

Tapi beberapa bulan yang lalu, waktu ada dua sepupu yang menikah dan gue lihat langsung prosesinya, mendadak gue jadi nggak pengen nikah dengan adat batak. Gue tahu berapa biaya yang dikeluarin dua sepupu gue itu kira-kira untuk pesta pernikahan itu dan itu bukan uang yang sedikit menurut gue. Sayang banget gitu rasanya uang yang dikumpulin dengan kerja keras oleh pengantin dan orang tuanya mungkin, berakhir jadi sampah dan ampas manusia, lalu yang tersisa cuma lelah dan foto-foto serta video. (Nggak cuma dua sepupu gue yang menikah beberapa bulan lalu, semua orang yang gue kenal dan udah menikah semuanya berpendapat sama di menjelang akhir pesta pernikahan mereka, capek banget.)

Mungkin juga ini karena gue sekarang lagi dalam proses nyari kerja dan belum apa-apa udah ngerasa kalau nyari duit itu susah makanya gue bisa mikir begitu. Tapi beneran gue ngerasa kok sayang banget uangnya. Padahal dengan uang yang dipakai untuk pesta, pengantin bisa aja liburan ke mana gitu atau beli barang-barang pengisi rumah, atau mungkin disumbangin, atau apalah yang lebih bermakna dan berguna.

Jadi lewat cuap-cuap ini, gue mau bilang ke udara, siapa tahu udara bisa menyampaikan buah renungan gue ini ke calon pasangan gue kelak. Gue nggak mau nikah yang pestanya mahal-mahal, kalo bisa bahkan nikahnya cuma di Catatan Sipil aja (boleh ditambah nikah agama kalo dirasa perlu atau sebaliknya, terserah). Kalaupun ada uang yang terkumpul, mending buat beli barang yang lebih berguna, buat disumbang, sama buat liburan aja. Kalaupun kedua keluarga kita nggak setuju sama cara ini, toh yang mau nikah aku dan kamu, kita jalaninya pake cara kita aja. Itupun kalau kamu mau menikah dengan cara itu.

Jadi, gue, Nova Simbolon yang sekarang ini, sudah lebih realistis pendapatnya soal pernikahan. Pernikahan itu bukan soal gaunnya, pestanya, perayaannya, undangannya, makanannya, atau bahkan siapa yang menerbitkan suratnya. Bagi gue sekarang, pernikahan itu soal siap atau tidaknya dua manusia (dengan dua keluarga yang mengikuti mereka), menjadi satu bagian yang lebih besar dan berusaha untuk padu padan satu sama lain. Pernikahan itu soal siap atau tidaknya hidup satu rumah dengan orang yang isi kepalanya berbeda dengan isi kepalamu. Sama kayak pendapatnya A, siapa yang memimpin siapa itu tidak penting, yang penting adalah setara tapi saling menghargai antara suami dan istri.

Semoga pasangan gue kelak mengerti dan nggak mengharapkan pesta pernikahan yang muluk-muluk. Amin.

1 komentar:

  1. keren itu pendapatnya tpi pasti susah jika telaksana dengan sesederhana itu karna adat atau apalah

    bingung cari cincin??malas kluar muter" dan panas
    buka ajj web kami di
    https://dodolperak.com atau https://cincinkawingolda.com

    melayani pembuatan cincin dari bahan emas, perak, dan palladium dengan harga yg terbaik dan hasil memuaskan

    ad garansi dan juga bonunsnya lhooo

    BalasHapus