Kamis, 25 September 2014

Jawaban Untuk Setiap Kebutuhan

Baru saja aku selesai bicara dengan Ibu. Suaranya terdengar sehat, meski beliau memperingatkanku untuk menjaga kesehatan karena cuaca yang mulai buruk. Semalam aku bermimpi tidak enak yang membuat perasaanku tidak karuan seharian ini. Aku tidak bertanya apa kabarnya memang. Itu bukan gayaku. Aku tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Tapi aku bersyukur karena beliau terdengar baik-baik saja. Ya, aku memang anak yang pengecut.

Ibu bertanya kenapa aku belum bekerja juga? Aku menjelaskan padanya, mungkin memang belum berjodoh dengan perusahaan-perusahaan yang memanggilku di waktu lalu. Ibu berkata aku harus lebih banyak berdoa. Bahkan kalau perlu aku juga melakukan puasa, katanya. Aku harus mengingat bahwa aku harus banyak berdoa pada Tuhan kalau aku ingin mendapatkan pekerjaan, katanya.

Ah, aku tidak mau menyiksa diriku sendiri, kubilang. Aku berdoa pada-Nya, dan itu sudah cukup menurutku. Tuhan pasti akan memberikanku pekerjaan bila memang aku berjodoh dengan pekerjaan itu kataku. Lalu ibuku berkata kalau teman-temannya mengira aku belum juga bekerja karena nilaiku yang dibawah rata-rata.

Aku kesal mendengarnya dan menumpahkan sedikit kekesalanku pada Ibu. Aku tahu itu salah. Tapi aku bahkan terlalu gengsi untuk minta maaf. Memang dasar aku ini anak pengecut. Tapi ya, ibu juga pasti tahu kalau memang bukan gayaku seperti itu.

Kami mengobrol cukup lama. Lalu Ibu bertanya tentang salah satu temanku. "Bagaimana kabarnya? Apa dia sudah mendapat pekerjaan?" tanya ibuku. Yah, kabarnya baik dan sekarang sedang sibuk bekerja. Kataku.

Lalu terlintas rasa iri dalam diriku. Ah, kenapa dia bisa begitu mudah mendapatkan pekerjaan sementara aku begitu sulit hanya untuk mendapatkan sebuah? Padahal ini, padahal itu, padahal.. padahal.. dan padahal lainnya mulai bermunculan satu-satu di kepalaku. Aku mencari alasan yang justru membuatku kelihatan makin seperti pecundang.

Saat Ibu sedang terdiam, barulah aku rasa aku mengerti alasannya. Dia membutuhkan pekerjaan, sedangkan aku? Alasanku ingin bekerja adalah untuk mengumpulkan uang untuk liburan. Dan aku sudah menyerah untuk memenuhi nazarku di akhir tahun depan. Mungkin baru akan terpenuhi dua atau tiga tahun lagi. Entahlah, hanya saja pasti aku akan memenuhinya.

Aduh, aku jadi melantur. Dari pembicaraanku dengan ibuku, aku menyadari satu hal: Tuhan memberi lebih pada yang membutuhkan lebih. Tuhan memberikan dalam takaran yang tepat untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tidak kurang tidak lebih. Sekarang, tinggal aku saja yang memenuhi bagianku untuk berusaha dan berdoa. :D

Gambar diambil dari sini

Minggu, 21 September 2014

Tentang Pernikahan Impian

Kali ini gue mau ngomongin soal pernikahan atau perkawinan,

sumber Google Images
Jadi sekarang ini gue lagi baca bukunya Ayu Utami yaitu "Pengakuan Eks Parasit Lajang". Sebelumnya udah selesai baca edisi sebelumnya dari trilogi parasit lajang juga, "Si Parasit Lajang" dan "Cerita Cinta Enrico". Seru banget baca buku ini dan gue menemukan beberapa pertanyaan yang dulu pernah gue pertanyaakan tentang seksualitas dan agama yang dipertanyakan juga sama Ayu Utami di buku ini (Yes! Pertanyaan gue sekelas pertanyaan Ayu Utami. Eh? Wkwkwkwk.).

Anyway, di terbitan hari ini (Kata bahasa Indonesia yang benar untuk postingan itu apa sih? Sampe sekarang masih belum tahu, dan belum pernah nyari tahu juga sih. :p) gue mau ngomongin soal apa yang gue harapkan(?) atau pikirkan belakangan ini tentang pernikahan. Yah, apalagi sekarang umur udah mau 23, meskipun bukan waktunya untuk mikirin pernikahan, belakangan ini gue lumayan kepikiran tentang hal satu ini, apalagi karena baca trilogi di atas. Menambah alasan untuk mikirin pernikahan. Hihihi.

Dari masih kecil gue udah membayangkan tentang pernikahan impian. Sebuah pernikahan yang meriah, ramai tetamu, mewah (kalau sanggup), romantis, dan lelaki tinggi-gagah-nan-tampan sebagai pangeran gue (nggak harus berkuda).  Gue rasa sih semua itu gara-gara gue suka baca buku cerita putri dan pangeran, yang mengakhiri semua ceritanya dengan pernikahan yang meriah dan dihadiri rakyat kerajaan. Udah gitu suka nonton sinetron pula (lebih ke sering sih, akibat Ibu suka nonton sinetron) yang aktor utamanya menjalani pernikahan yang bahagia.

Selama belasan tahun gue memimpikan pernikahan a la kerajaan dongeng kayak gitu. Saking berlebihannya impian gue, gue pernah mengharapkan pernikahan di luar negeri yang semua undangannya gue yang tanggung akomodasinya (sejujurnya malu mengakui ini, tapi sampe sekarang pun menurut gue ini impian paling nggak masuk akal pertama yang pernah gue impikan. Ini mungkin kalo gue kawinnya sama anggota kerajaan Eropa misalnya, tapi ya mana mungkin kan -_-).

Lalu beberapa tahun lalu gue bermimpi menikah dengan ritual Batak Toba yang asli, kayak di kampung-kampung. Tapi nggak dilaksanain di kampung. Soalnya pernikahan adat Batak Toba yang ada di kota sama di kampung udah beda perayaannya. Di kota perayaannya lebih cepet dan nggak ribet, di kampung masih ribet banget. Jangankan kota dan kampung, di Bandung sama Jakarta aja tata caranya ada yang beda. Padahal sama-sama kota.

Tapi beberapa bulan yang lalu, waktu ada dua sepupu yang menikah dan gue lihat langsung prosesinya, mendadak gue jadi nggak pengen nikah dengan adat batak. Gue tahu berapa biaya yang dikeluarin dua sepupu gue itu kira-kira untuk pesta pernikahan itu dan itu bukan uang yang sedikit menurut gue. Sayang banget gitu rasanya uang yang dikumpulin dengan kerja keras oleh pengantin dan orang tuanya mungkin, berakhir jadi sampah dan ampas manusia, lalu yang tersisa cuma lelah dan foto-foto serta video. (Nggak cuma dua sepupu gue yang menikah beberapa bulan lalu, semua orang yang gue kenal dan udah menikah semuanya berpendapat sama di menjelang akhir pesta pernikahan mereka, capek banget.)

Mungkin juga ini karena gue sekarang lagi dalam proses nyari kerja dan belum apa-apa udah ngerasa kalau nyari duit itu susah makanya gue bisa mikir begitu. Tapi beneran gue ngerasa kok sayang banget uangnya. Padahal dengan uang yang dipakai untuk pesta, pengantin bisa aja liburan ke mana gitu atau beli barang-barang pengisi rumah, atau mungkin disumbangin, atau apalah yang lebih bermakna dan berguna.

Jadi lewat cuap-cuap ini, gue mau bilang ke udara, siapa tahu udara bisa menyampaikan buah renungan gue ini ke calon pasangan gue kelak. Gue nggak mau nikah yang pestanya mahal-mahal, kalo bisa bahkan nikahnya cuma di Catatan Sipil aja (boleh ditambah nikah agama kalo dirasa perlu atau sebaliknya, terserah). Kalaupun ada uang yang terkumpul, mending buat beli barang yang lebih berguna, buat disumbang, sama buat liburan aja. Kalaupun kedua keluarga kita nggak setuju sama cara ini, toh yang mau nikah aku dan kamu, kita jalaninya pake cara kita aja. Itupun kalau kamu mau menikah dengan cara itu.

Jadi, gue, Nova Simbolon yang sekarang ini, sudah lebih realistis pendapatnya soal pernikahan. Pernikahan itu bukan soal gaunnya, pestanya, perayaannya, undangannya, makanannya, atau bahkan siapa yang menerbitkan suratnya. Bagi gue sekarang, pernikahan itu soal siap atau tidaknya dua manusia (dengan dua keluarga yang mengikuti mereka), menjadi satu bagian yang lebih besar dan berusaha untuk padu padan satu sama lain. Pernikahan itu soal siap atau tidaknya hidup satu rumah dengan orang yang isi kepalanya berbeda dengan isi kepalamu. Sama kayak pendapatnya A, siapa yang memimpin siapa itu tidak penting, yang penting adalah setara tapi saling menghargai antara suami dan istri.

Semoga pasangan gue kelak mengerti dan nggak mengharapkan pesta pernikahan yang muluk-muluk. Amin.

Selasa, 09 September 2014

Tabel Konversi IPK ke Nilai. Turns Out I'm Not As Stupid As I Thought I Was.





C.G.P.A. Conversion Table

4.0 Scale
4.3 Scale
4.5 Scale
5.0 Scale
100 Points Scale
3.97 ~ 4.0
4.26 ~ 4.3
4.46 ~ 4.5
4.95 ~ 5.00
100
3.92 ~ 3.96
4.22 ~ 4.25
4.41 ~ 4.45
4.90 ~ 4.94
99
3.88 ~ 3.91
4.17 ~ 4.21
4.36 ~ 4.40
4.84 ~ 4.89
98
3.84 ~ 3.87
4.12 ~ 4.16
4.31 ~ 4.35
4.79 ~ 4.83
97
3.80 ~ 3.83
4.08 ~ 4.11
4.26 ~ 4.30
4.73 ~ 4.78
96
3.75 ~ 3.79
4.03 ~ 4.07
4.21 ~ 4.25
4.68 ~ 4.72
95
3.71 ~ 3.74
3.98 ~ 4.02
4.16 ~ 4.20
4.62 ~ 4.67
94
3.67 ~ 3.70
3.93 ~ 3.97
4.11 ~ 4.15
4.57 ~ 4.61
93
3.62 ~ 3.66
3.89 ~ 3.92
4.06 ~ 4.10
4.51 ~ 4.56
92
3.58 ~ 3.61
3.84 ~ 3.88
4.01 ~ 4.05
4.45 ~ 4.50
91
3.49 ~ 3.57
3.75 ~ 3.83
3.91 ~ 4.00
4.34 ~ 4.44
90
3.41 ~ 3.48
3.65 ~ 3.74
3.81 ~ 3.90
4.23 ~ 4.33
89
3.32 ~ 3.40
3.56 ~ 3.64
3.71 ~ 3.80
4.12 ~ 4.22
88
3.24 ~ 3.31
3.46 ~ 3.55
3.61 ~ 3.70
4.01 ~ 4.11
87
3.15 ~ 3.23
3.37 ~ 3.45
3.51 ~ 3.60
3.90 ~ 4.00
86
3.07 ~ 3.14
3.27 ~ 3.36
3.41 ~ 3.50
3.79 ~ 3.89
85
2.98 ~ 3.06
3.18 ~ 3.26
3.31 ~ 3.40
3.68 ~ 3.78
84
2.90 ~ 2.97
3.09 ~ 3.17
3.21 ~ 3.30
3.57 ~ 3.67
83
2.81 ~ 2.89
2.99 ~ 3.08
3.11 ~ 3.20
3.45 ~ 3.56
82
2.72 ~ 2.80
2.90 ~ 2.98
3.01 ~ 3.10
3.34 ~ 3.44
81
2.64 ~ 2.71
2.80 ~ 2.89
2.91 ~ 3.00
3.23 ~ 3.33
80



Di atas itu tabel konversi IPK (atau GPA) ke nilai dalam skala 100, gue dapet dari Guidelines pendaftaran beasiswa ke luar negeri. Setelah liat itu, gue ngerasa sedih karena belakangan ini udah mengasihani diri sendiri akibat IPK yang nggak sampe angka 3.00 dari skala 4.00.

Entah salah siapa gue bisa sampe mengasihani diri sendiri, tapi kemungkinan besar itu karena omongan orang-orang yang ketemu gue dan pas tau IPK gue nggak nyampe 3.00, mau dosen mau orang-orang lainnya, selalu bilang "Kenapa IP-nya nggak sampe 3.00? Nanti susah nyari kerja loh. Naikin sana IP-nya." atau semacamnya.

Akibat dari omongan itu gue jadi menyalahkan diri sendiri, ngerasa kalau gue itu bego karena IPK nggak sampe 3.00. Padahal kalau berdasarkan konversi di atas, nilai gue ternyata lebih dari 80. Nggak seburuk yang gue kira. Dan bukannya kalau segitu aja udah cukup baik?

Ayolah, mereka yang nggak ngejalanin belum tentu bisa kayak gue. Dapet nilai di atas 80 dengan kurang usaha selama kuliah. Yah, meskipun nilai-nilai yang gue dapet itu bisa aja ada hasil belas kasihan dosen-dosen buat mahasiswa macam gue yang IP-nya nggak sampe 3.00 ini.

Dari hasil kuliah gue, gue belajar banyak hal dan itu yang penting. Bukan cuma nilai IPK. Mulai sekarang, gue mau bangga karena udah lulus kuliah. IPK gue mungkin nggak sampe 3.00, tapi bukan berarti gue itu bego atau nggak bisa dapet kerja. Gue nggak mau bikin hasil kerja keras emak gue buat nyekolahin gue sampe jadi sarjana berakhir dengan gue yang justru mengasihani diri.

Sekarang, mari hidup lebih layak. Cari kerja magang yang banyak, terus kumpulin uangnya dan liburan kitah!! 잘 먹고 잘 살자 이제!!